Selasa, 06 Mei 2014

Kehidupan, Permasalahan dan Solusinya



Dalam menjalani kehidupan tentu kita tidak akan luput dari yang namanya "masalah".
Semua yang kita jalani dalam hidup ini sejatinya adalah sebuah "masalah", masalah yang memang harus kita jalani dan kita temukan jalan keluarnya. Dari awal kita membuka mata setelah tidur, kita sudah harus bertahan hidup dari rasa lapar.
Rasa lapar merupakan satu masalah dari sekian masalah yang akan kita jalani sampai kita tidur kembali dimalam hari, dari rasa lapar tadi kita akan berusaha mencari jalan keluarnya  yaitu bagaimana supaya kita tidak mati kelaparan, tentu saja dengan sigapnya kita mencari makanan untuk memecahkan permasalahan rasa lapar tersebut.
Makan adalah bentuk dari solusi prmasalahan yang kita hadapi.
Setelah selsai makan kita merasa lega dan merasa satu permasalahan dalam hidup kita bisa kita pecahkan dan kita cari solusinya.
Itu salah satu contoh bahwa sejatinya kita bisa mengatasi permasalahan dalam hidup kita.
Segampang itukah permasalahan hidup?
Sejatinya iya, apa pun bentuk permasalahan sejatinya sama dengan analogi diatas, masalahnya adalah lapar dan solusinya adalah makan.

Lalu kemudian timbul lah masalah lain selain lapar yang menjadi awal masalah dalam hidup kita tadi.
Lain orang maka lain pula permasalahan hidup yang dialami, kerumitan dan alur cerita dari masalah itupun berbeda begitu pula cara menyelesaikan permasalahan tersebut.

Ungkapan bahwa bicara lebih gampang daripada prakteknya memang tidaklah salah, sejatinya begitupula yang harus kita lakukan dalam penyelesaian masalah, buatlah cara penyelesaian masalah kita itu bisa segampang apa yang kita bicarakan.

Kegagalan kita dalam mencari solusi dari permasalahan salah satunya adalah karena kita lupa bahwa sejatinya kita punya Sang Maha Esa yang merupakan rujukan tempat kita mengembalikan semua permasalahan hidup, hanya pada Sang Pencipta yang menciptakan hidup dan segala permasalahan di dalamnya lah kita bisa menyelesaikan masalah dengan tepat dan benar.

Stress, frustasi, depresi dan sakit akan kita alami jika kita tidak bisa menemukan solusi dari permasalahan hidup yang kita hadapi. Kita dilengkapi akal pikiran, jadikan akal pikiran sebagai jalan untuk kita sampai kepada aturan Sang Pencipta. Akal sejatinya harus bisa sampai kepada solusi apapun bentuk masalah itu.

"Life is too hard when you try to do everything by yourself without involving God in it"

Jika kita tidak memakai aturan sang pencipta maka jalan keluar dari solusi permasalahan pun akan berbuntut panjang dan berdampak merugikan bagi kita dan orang lain

Kita analogikan lagi dengan permasalahan awal tadi yaitu lapar, solusinya sudah kita dapatkan dari pemikiran akal yaitu makan, proses mendapatkan makanan ini lah yang harus kita libatkan sang pencipta, bagaimana cara yang tepat dan benar dalam mencari makan didalam aturan Sang Pencipta? itulah yang harus diketahui oleh akal kita. Jika tidak dengan aturan Sang Pencipta maka kita akan melakukan segala cara untuk mendapatkan makanan , alhasil cara yang buruk pun kita tempuh, bukan mendapatkan solusi tapi kita akan menambah masalah baru karena kita tidak melibatkan Sang Pencipta untuk mencari jalan dari solusi yang kita hadapi. Akal kita memang punya seribu cara, namun akal kita tetap punya batasan aturan Sang Pencipta yang mayoritas kita lalaikan dalam mencari solusi dari kerumitan permasalahan hidup kita.

Beberapa rambu dari sekian banyak rambu-rambu dari Sang Pencipta untuk kita adalah :

"Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (keni`matan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan."
(QS AL QOSHSHOSH 77.)

”Janganlah kamu bersikap lemah
(pesimis), dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamu adalah
orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang
yang beriman”.
(Ali Imran :139).

Ternyata selain berusaha keras dengan segenap akal pikiran dan kemampuan yang kita punya, kita harus melibatkan Sang Pencipta pada setiap langkah kaki dalam mencari penyelesaian dari masalah kehidupan ini.
Agar kita bisa menyelesaikan masalah dengan tepat, baik dan benar. ^_^





Jumat, 25 April 2014

Memahami Hadist seputar Malam Nishfu Syaban

Memahami dan Mengamalkan 
Hadis Malam Nishfu Sya’ban

Penulis Tuhfatul Ahwâdzi (Abû al-‘Alâ al-Mubarakfuri)
telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam “Nishfu Sya’ban”. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, 
keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada
ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud. 

Pertama: Hadits Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dha’if].

Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : " يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ " قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ " أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ " قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : " هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. 
Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al-‘Alâ’ mengambilnya dari Makhûl. [Hadits mursal adalah hadits yang dha’if karena terputus sanadnya]

Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyâllahu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Al-Mundziri dalam At-Targhîb setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Al-Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh al-Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyâllahu ‘anhu. Al-Bazzar dan al-Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyâllahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa (lâ ba’sa bih).” Demikian perkataan Al-Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abû al-‘Alâ al-Mubarakfuri) lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyâllahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat seorang periwayat (râwi) yang bernama Lahi’ah dan dia dinilai dha’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dha’if]

Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyâllahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” 
Al-Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada râwi [periwayat) yang diberi penilaian negatif/dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].

Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murrah radhiyâllahu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,


يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. 

Al-Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh al-Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dha’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus]. 
Al-Mundziri juga berkata, “dikeluarkan pula oleh Ath-Thabrani dan juga al-Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyâllahu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, 
Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” 
Al-Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. 
[Berarti hadits ini pun dha’if].

Keenam: Hadits ‘Ali radhiyâllahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Apabila malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: "Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” 

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburah al- Qurasyi Al-‘Amiri al-Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrîb. Adz-Dzahabi dalam Al-Mîzân mengatakan, “Imam al- Bukhari dan ulama lainnya mendha’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Shalih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An-Nasai mengatakan, “Ia adalah râwi (periwayat) yang matruk (ditinggalkan)”. [Berarti hadits ini di antara maudhû’ dan dha’if]

Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa dipakai sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallâhu Ta’âla A’lam.
Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendha’ifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.” (Lathâif al-Ma’ârif, halaman 245) 
Tanggapan penulis, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahhil (megangap mudah), 
yaitu 
orang yang ber’gampang-gampangan’ dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dikaji kembali.”

Mengenai “menghidupkan malam Nishfu Sya’ban” dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan, “mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.” (Lathâif al-Ma’ârif, halaman 248)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah ad-Dâ’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullâh mengatakan, bahwa “hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhû’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (Majmû’ Fatâwâ Ibnu Baz, 1/188). Begitu juga di halaman yang sama, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz menjelaskan, “Hadits dha’if barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah yang menenerangkan tentang hal itu.”


Malam Nishfu Sya'ban Sama Seperti Malam Lainnya

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullâh mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyâmul bîdh (tanggal 13, 14, 15 H.), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah “janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban” dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu." (Liqâ’ al-Bâb al-Maftûh, kaset no. 115)

Dalam 
hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, keutamaan malam Nishfu Sya’ban sebenarnya sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.

‘Abdullah ibn al Mubarak rahimahullâh pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban,

 kemudian beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau ketahui bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” (Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman ash-Shabuni dalam I’tiqâd Ahlis Sunnah, hal. 92).
Al-‘Aqili rahimahullâh mengatakan, “mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, ternyata hadits-haditsnya itu layyin (mendapatkan kritik). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” (Disebutkan dalam Adh-Dhu’afâ’, 3/29).

Wallâhu A’lam bi ash-Shawâb.

Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Muhammad Abduh Tuasikal, 

Rabu, 23 April 2014

Pemahaman Penting Tentang Takdir

Qodho’ dan Qodar
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]


Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.

Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).

Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[3]

Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.

Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)


وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]


Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,

ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)

نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)

Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29).
 Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]


Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:

[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[6]

[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,

} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).

[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)

[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,

حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}
Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)

[5] Takdir Yaumi. Yakni  pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29).

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain[7]


Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
Kelompok yang lain adalah yang  terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)

Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan  kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]


Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41).
 Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]


Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]


Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]

Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat....
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed]
[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54.  Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.

[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.

Senin, 21 April 2014

Makna Perjalanan Hidup


selalu memberimu kesegaran disaat kamu butuhkan,
menempuh jalan yang sangat panjang untuk sampai padamu, 
sekejap pun dia masih bisa menyejukkan...
 
Selalu memberimu alasan untuk bertahan hidup,
tak pernah terlihat dan terjamah, 
sekejap pun dia masih sangat berarti...
 
Selalu memberimu tempat untuk berpijak, 
tak sekalipun merasa berat, 
sekejap pun dia masih bisa melindungimu...
 
Selalu selaras dan menciptakan harmoni...
 
Kepada sang pemilik waktu, ku titipkan sisa waktu ku.
Dalam keheningan malam, ku tundukkan egoku. 
Kuserahkan waktu ku hanya pada Mu...
 
 
Bertanyalah padaku tentang rindu itu,
Aku akan menjawab,
Tanyakan padaku tentang waktu itu,
Aku akan jelaskan,
Semua kuserahkan pada Mu...
 
 

Rindu ku tak akan pernah berhenti,
disaat semua tertidur lelap, 
aku akan menemuimu dalam keheningan setiap malam, 
hanya ada aku dan Kamu...
 
Sekuat apapun berdirimu, kau pasti terjatuh,
Setegak apapun berjalanmu, kau pasti terpleset,
Bila hatimu rapuh, semua pasti sirna ...
 
Kesunyian malam kembali membawaku dalam kilasan kejadian yang sudah ku lalui hari ini...
Karena Mu, Aku hidup, 
Pada Mu, Aku akan kembali...
  

Sempat yakin mampu berjalan tanpa tujuan,
Namun akhirnya kita juga akan berhenti di satu tempat,
Everyone has a destiny...
 
Sepertinya kata sudah kehilangan makna,
setiap kata yang dikeluarkan bebas untuk dipermainkan,
Hilang kemana kehormatan itu...
 

Semua selalu bersandar dengan dalih kerasnya pergaulan hidup,
Maka kemakluman pun muncul, menyamarkan dosa menjadi kelumrahan logika akal manusia,
Semua tak seperti kelihatanya...
 
Memang tak mudah mendapatkan yang berharga itu,
Namun bukan pula tak bisa mendapatkannya,
Perbaiki apa yang salah dengan istiqomah...
 
Jagalah dia, maka dia akan akan selalu menjagamu...
 
Tiang yang kau jadikan sandaran dulu, sekarang mulai rapuh,
Meski dulu kau berharap tiang itu tak akan patah,
Tanyakan pada waktu...
 
Seharusnya jalan menuju cahaya itu bisa kau lalui,
Tapi kau memilih jalan lain yang lebih jauh,
itulah pilihan dan kau tak pernah bisa kembali....
 
Awan selain memiliki konsistensi dengan siklus air dan setia pd hujan,
juga punya kemampuan berubah bentuk dan berpindah sesuai hembusan angin...
 

Embun hadir pada daun tanpa diminta,
Embun hadir seiring segarnya udara pagi,
Bila daun mengatup,
Embun tetap ada disisinya...
 
 
  
  
 
  

Selasa, 01 April 2014

Selalu Mempelajari dan Memahami Al-Qur'an dan Sunnah


Hamba 1 >. ;Aku berlindung pd Allah
dari Syaitan yang terkutuk

22 : "Setiap bencana yang menimpa di
bumi dan menimpa dirimu sendiri,
semua telah tertulis dalam kitab (lauh
mahfuz) sebelum kami
mewujudkannya. Sungguh,yg
demikian itu mudah bagi Allah"

23: "Agar kamu tidak bersedih hati
terhadap apa yg luput dari kamu, dan
tidak pula terlalu gembira terhadap
apa yg diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong dan membanggakan
diri

24 : (yaitu) orang-orang yang kikir
dan menyuruh manusia berbuat kikir.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari
perintah-perintah Allah) maka
sesungguhnya Allah Dia-lah Yang
Maha Kaya la gi Maha Terpuji.
( Q.S Al-Hadid(57):22-23-24 )

Hamba 2 >> Demikianlah
Qs Al Mulk : 001. Maha Suci Allah
Yang di tangan-Nyalah segala
kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu,
002. Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.

Hamba 1 > Landasan untuk memilih
yang terbaik
Al hadis Nabi : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menjelaskan
ttg pertany6aan "apa gunanya jika
takdir telaah di tetapkan,?. Rasul
jawab hal ini ketika menjawab
pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik
bin Ju’syum Radhiyallahu 'anhu.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﺍِﻋْﻤَﻠُﻮﺍ ﻓَﻜُﻞٌّ ﻣُﻴَﺴَّﺮٌ ﻟِﻤَﺎ ﺧُﻠِﻖَ ﻟَﻪُ، ﺃَﻣَّﺎ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ
ﺍﻟﺴَّﻌَﺎﺩَﺓِ ﻓَﻴُﻴَﺴَّﺮُ ﻟِﻌَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺴَّﻌَﺎﺩَﺓِ ﻭَﺃَﻣَّﺎ s ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ
ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺸَّﻘَﺎﺀِ ﻓَﻴُﻴَﺴَّﺮُ ﻟِﻌَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺸَّﻘَﺎﻭَﺓِ .
Arti : "Beramallah kalian, karena
semuanya telah dimudahkan oleh
Allah menurut apa yang Allah
ciptakan atasnya. Adapun orang yang
termasuk golongan orang-orang yang
berbahagia, maka ia dimudahkan
untuk beramal dengan amalan orang-
orang yang berbahagia. Dan adapun
orang yang termasuk golongan
orang-orang yang celaka, maka ia
dimudahkan untuk beramal dengan
amalan orang-orang yang celaka".
[ Hr Bukhari & Muslim ]

Hamba 2 >> QS Muhammad Artinya
031. Dan sesungguhnya Kami benar-
benar akan menguji kamu agar Kami
mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu;
dan agar Kami menyatakan (baik
buruknya) hal ihwalmu.

Hamba 1 > QS AL QOSHSHOSH 77.
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (keni`matan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.

Hamba 2 >> Qs At Taubah artinya
105. Dan katakanlah: "Beramallah
(Bekerjalah) kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu'min akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan".

Hamba 1 > Qs Ali Imran : 31.
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lanjut Hamba 1 > Qs An Nisa 80.
Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menta`ati
Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari keta`atan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.
AL HADIS NABI Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara
baru dalam agama maka akan
tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan
Muslim no 1718)
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﺃَﻣْﺮُﻧﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu
amalan yang tidak diperintahkan oleh
kami maka amalan tersebut
tertolak” (HR Muslim no 1718)

Sehingga Muslim hendaknya mutlak
beragama Al Islam : dan selalu
kembali pada Agama Al Islam ( tidak
menyimpang) dengan taat pada Allah
dan RasulNya. Ladasannya bertakwa
hanya pada Allah

Qs Al Ahzab : 036. Dan tidaklah patut
bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata.

Hamba 2 >> Qs Al Hujurat 15
015. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman (sejati) hanyalah orang-
orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya
kemudianmereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar

Qs An Nur 51
051. Sesungguhnya jawaban orang-
orang mu'min (sejati), bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (menentukan -
mengadili) di antara mereka ialah
ucapan."
"Kami mendengar dan kami patuh."
Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.

Hamba (1) > : Maka marilah berilmu
untuk dapat memilih yang benar dan
terbaik : Dan selalu kembali pada
Allah dengan kesadaran Universal

Qs Al Baqarah
284. Kepunyaan Allah-lah segala apa
yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Dan jika kamu melahirkan
apa yang ada di dalam hatimu atau
kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu
itu. Maka Allah mengampuni siapa
yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan
Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

Hamba 2 >> Berdoalah
Subhanakallahumma wa bihamdika
La ilaha illa Anta
Astaghfiruka wa atuubu ilaika