Senin, 23 Mei 2011

ADA APA DIBALIK PENYUSUNAN ANGGARAN NEGARA KITA???

Anggaran negara dari diusulkan sampai disetujui membutuhkan waktu hampir setahun. Di Dewan Perwakilan Rakyat, proses ini dilakukan saban Mei. "Biasanya pembahasan selesai pada 26 Oktober," kata Tamsil Linrung, Wakil Ketua Badan Anggaran Dewan, Jumat pekan lalu.

Proses dimulai ketika pemerintah menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Dari sini dihasilkan rencana kerja pemerintah, yang kemudian dibacakan Menteri Keuangan di Dewan pada 20 Mei. Para anggota Dewan lalu menyelenggarakan rapat, mendengarkan pandangan semua fraksi tentang kebijakan fiskal yang diajukan pemerintah.

Sepekan setelah sidang itu, pemerintah menyampaikan jawaban atas pandangan fraksi. Dari sini, keluarlah angka-angka yang disebut pagu indikatif. Pembahasan lebih intensif kemudian dilakukan di Badan Anggaran Dewan, yang beranggotakan 85 orang perwakilan fraksi secara proporsional. Komposisi per komisi di Dewan juga diperhatikan dalam badan ini.

Rapat kerja di Badan Anggaran diikuti perwakilan pemerintah, yakni Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, selain Gubernur Bank Indonesia. Dalam rapat ini ditentukan pembentukan empat panitia kerja, yang bertugas membahas pendapatan negara, prioritas anggaran, kebijakan belanja pemerintah pusat, dan transfer ke daerah. Pembahasannya masih seputar pagu indikatif.

Baru pada 16 Agustus, presiden menyampaikan nota keuangan, juga aneka indikator anggaran, termasuk asumsi-asumsi ekonomi makro. Pembacaan nota keuangan ini dilakukan bersamaan dengan pidato kenegaraan. Setelah nota keuangan disampaikan, "pagu indikatif" kemudian dibahas menjadi "pagu sementara".

Pembahasan dilakukan lebih teknis di Komisi VII (membidangi masalah energi) dan XI (membidangi keuangan dan perbankan) bersama mitra kerjanya. Di sini dibahas asumsi-asumsi ekonomi makro. Setelah didapatkan jumlah pendapatan negara, semua komisi-dari Komisi I, yang membidangi masalah politik dan pertahanan, hingga Komisi XI-membahas rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga.

Calo anggaran besar kemungkinan bermain pada tahap pembahasan di setiap komisi ini. "Karena di sini dibahas anggaran secara detail," kata Tamsil Linrung, politikus Partai Keadilan Sejahtera.

Biasanya calo anggaran-bisa anggota Dewan atau orang suruhannya-menawarkan dua hal. Pertama, tawaran mempercepat proses pengisian daftar isian pelaksanaan anggaran. Kedua, tambahan anggaran yang melebihi usul kementerian atau lembaga.

Setelah dibahas oleh pemerintah dan komisi, dua rencana kerja dibawa kembali ke Badan Anggaran untuk dilakukan sinkronisasi. Dari Badan Anggaran, rencana kerja pun dikembalikan ke komisi untuk dibahas lagi lebih terperinci. Selesai komisi membahasnya, Badan Anggaran pun kembali melakukan sinkronisasi. Setelah itu, barulah rencana kerja menjadi pagu definitif. Batas akhirnya Oktober.

Setelah pagu definitif siap, Kementerian Keuangan menyusun pedoman penyesuaian rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga dengan pagu definitif. Kementerian dan lembaga pun melakukan hal serupa. Setelah rencana disusun sesuai dengan pagu, Kementerian Keuangan menyusun draf Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Presiden lalu menetapkan peraturan yang mengesahkan alokasi anggaran. Sebagai turunannya, Kementerian Keuangan menerbitkan peraturan yang mengesahkan daftar isian pelaksanaan anggaran, sebelum akhirnya anggaran bisa dicairkan. Proses berlapis-lapis itu memungkinkan permainan dari para makelar.

Koordinator Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Uchok Sky Khadafi, mengatakan selalu ada celah calo memainkan anggaran. Mereka biasanya bermain di Badan Anggaran Dewan. "Bahkan pada saat dibahas oleh kementerian pun calo sudah bisa bermain."

ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN ORDE REFORMASI

Hasil survei yang dilakukan Indo Barometer itu amat mencengangkan. Sebanyak 40,9 persen responden berpendapat Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi. Hanya 22,8 persen responden yang menilai kondisi saat ini lebih baik. Sedangkan 22,1 persen menjawab tak tahu. Survei ini diadakan pada 25 April hingga 4 Mei 2011 dengan sampel 1.200 orang di 33 provinsi.
Survei tersebut seolah merekam tingginya kepercayaan publik akan zaman Soeharto. Ini berarti rezim yang dijatuhkan lewat aksi demonstrasi mahasiswa tersebut masih lebih disukai dibanding pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Kesimpulan begini amat tidak masuk akal karena bertolak belakang dengan hasil pemilu yang melibatkan mayoritas pemegang hak pilih sebagai “responden”.
Metodologi survei itu pun penuh dengan kelemahan. Bagaimanapun, persepsi tak bisa dibandingkan, apalagi atas tiga orde pemerintahan. Profil responden yang dipilih jelas menunjukkan kelemahan survei ini. Jika ingin membandingkan tiga orde, semestinya responden yang dipilih adalah mereka yang memiliki pengalaman hidup di tiga orde tersebut. Padahal responden survei ini hanya sebagian kecil yang merasakan Orde Lama, bahkan ada yang hanya sebentar merasakan Orde Baru. Bagaimana mungkin menarik kesimpulan dari persepsi orang-orang yang berbeda generasi?
Jelas tak mungkin orang ditanya mengenai Orde Lama padahal ia tak punya pengalaman hidup di zaman Sukarno. Sungguh ajaib jika sang responden tetap dimintai pendapat tentang orde yang secara empiris tak pernah ia alami. Responden tentu hanya akan menebak-nebak atau mengandalkan pengetahuan yang pernah ia baca atau dengar.
Orang juga cenderung mengingat-ingat hal yang baik pada masa lalu di tengah kondisi sekarang yang sulit. Publik yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang tak tegas melakukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan mudah menganggap masa lalu lebih indah. Mereka tak memeriksa kembali bahwa krisis yang sama juga terjadi di masa lalu.
Survei itu juga mengabaikan fakta obyektif yang terjadi di tiga orde tersebut. Realitas seperti masalah kebebasan pers, hak asasi manusia, pendidikan, tingkat pengangguran, hingga keberhasilan ekonomi mestilah ikut pula diperbandingkan. Indikator-indikator itu penting dijelaskan sebelum survei mengambil kesimpulan.
Kendati survei itu penuh dengan kejanggalan, bukan berarti tak ada sama sekali kelompok yang menyukai Orde Baru. Tapi pandangan sebagian kecil masyarakat ini akan terkikis dengan sendirinya bila pemerintah yang dipilih secara demokratis mampu memberi manfaat yang semakin besar bagi rakyat.