Kamis, 02 Juni 2011

Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Meriah, Mengharukan, dan Mencerdaskan

Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang kedua kalinya yang diselenggarakan oleh MPR, pada 1 Juni 2011, yang bertempat di Gedung Nusantara IV, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, berlangsung sangat meriah, mengharukan, dan mencerdaskan. Hadir dalam peringatan itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden III B. J. Habibie, Presiden V Megawati Soekarno Putri, mantan Wakil Presiden seperti Try Soetrisno, Hamzah Has, Jusuf Kalla, Ketua MK Mahfud M. D, Ketua BPK Hadi Purnomo, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, seluruh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, janda Presiden IV Abdurrahman Wahid Shinta Nuriyah, janda mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah Karlinah Umar Wirahadikusumah, para gubernur, seperti Gubenur Jawa Timur Soekarwo, Gubenur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, serta tokoh-tokoh nasional lainnya serta para pimpinan MPR, DPR, DPD, dan anggota MPR.
 

Dalam sambutannya, Ketua MPR Taufiq Kiemas hari ini kita mengingatkan akan peristiwa 66 tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945, ketika para pendidi bangsa ini dengan penuh kesungguhan membicarakan dasar-dasar negara Indonesia merdeka. Pada saat di depan sidang BPUPKI, dengan tegas Bung Karno berpidato dan menjelaskan butir demi butir usulan mengenai prinsip-prinsip bernegara yang kemudian diberi nama Pancasila.
 
Lebih lanjut dikatakan oleh Taufiq Kiemas, pidato Bung Karno yang tidak dipersiapkan secara tertulis itu kemudian diterima secara aklamasi oleh BPUPKI sebagai dasar dalam penyusunan falsafah negara Indonesia merdeka.
 
Dipaparkan oleh Taufiq Kiemas, dalam perjalanan sejarahnya, rumusan Pancasila beberapa kali mengalami perubahan seiring dengan proses musyawarah. Meski demikian, ide-ide dasar Pancasila 1 Juni secara utuh terus menjiwai baik dalam rumusan Piagama Jakarta 22 Juni 1945, maupun teks final yang tertuang dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yang disahkan oleh PPKI, 18 Agustus 1945. “Dengan demikian rangkaian dokumen sejarah yang bermula dari 1 Juni 1945 hingga teks final 18 Agustus 1945, dapat kita maknai sebagai satu kesatuan dalam proses kelahiran falsafah negara Pancasila,” ujar Taufiq Kiemas.
 
Dalam kesempatan itu, B. J. Habibie yang didaulat untuk pidato kebangsaan mengatakan ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah lenyap dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya. (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM). (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.
 
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
 
Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
 
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
 
Selepas B. J. Habibie menyampaikan pidatonya, selanjutnya giliran Megawati melakukan hal yang sama, yakni pidato kebangsaan. Dalam pidatonya, Megawati menyampaikan cuplikan syair lagu Pancasila Rumah Kita. Dalam meliriknya, syairnya berbunyi, ' Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua, nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya, untuk semua puji namanya, untuk semua cinta sesama, untuk semua wadah menyatu, untuk semua bersambung rasa, untuk semua saling membagi pada setiap insan, sama dapat sama rasa, oooh Indonesiaku, oooh Indonesia.
 
Dalam pidato kenegaraan, Susilo Bambang Yudhyono mengungkapkan dirinya, dalam merevitalisasi Pancasila, telah meminta BPS melakukan survei mengenai apa pandangan masyarakat terkini terhadap Pancasila. Survei telah pula dilaksanakan BPS pada 27-29 Mei 2011 terhadap hampir 13 ribu orang responden yang tersebar di 181 kabupaten/kota di 33 provinsi. Hasil survei yang penting, 72,9% responden menilai Pancasila harus dipertahankan. Sebanyak 89% responden menyebut penyebab tawuran pelajar, konflik antar kelompok dan agama adalah akibat kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila.
 
Maka responden bersepakat perlu agar dilakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Aksi revitalisasi ini harus dilakukan melalui pendidikan (39%), contoh perbuatan para pejabat pemerintahan dan legislatif mulai dari tingkat pusat sampai daerah (19%), tokoh masyarakat dan agama (14%), penataran (13%), sosialisasi di media massa (12%) dan ceramah keagamaan (10%).
 
Sementara pihak yang dinilai paling tepat menjadi penggerak aksi revitalisasi Pancasila adalah guru dan dosen (43%), tokoh masyarakat dan agama (22%) dan badan khusus yang dibentuk pemerintah seperti BP7 (20%). Sementara 3% responden menyebut para elit politik juga harus turut memotori gerakan revitalisasi Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar